Oleh Toni Tegar Sahidi
tonitegarsahidi@gmail.com
Ini kisah yang cukup populer. Saya pertama kali mendengarnya sekitar tahun 2003 di sebuah kampus di Surabaya. Ijinkan saya untuk menyampaikannya kembali bagi Anda.
Alkisah, ada seorang ilmuwan ingin mengadakan eksperimen. Untuk itu ia harus merebus seekor katak hidup-hidup. Ia pun menyiapkannya. Diambilnya sebuah panci, diisinya dengan air secukupnya lalu diletakkan di atas tungku. Dengan sabar ia menunggu hingga air mendidih. Air pun mendidih lalu diambillah si katak malang, lalu dimasukkanlah katak tersebut ke air yang tengah mendidih tersebut.
Namun apa yang terjadi? Si katak yang merasakan suhu yang berubah drastis kontan sigap. Ia kaget, ia tanggap, katak pun kontan melompat keluar dari panci. Si Katak kali ini selamat.
Namun si ilmuwan yang gagal dengan percobaan pertamanya tak kehilangan akal. Kali ini ia menyiapkannya dengan cara yang berbeda.
Diambilnya lagi sebuah panci yang lain, dan sama seperti sebelumnya, ia isi dengan air lalu ia letakkan ke atas tungku. Namun sebelum ia nyalakan tungkunya, dengan air dalam kondisi masih dingin, ia masukkan si katak ke dalam panci. Si katak yang memang biasa dengan air, pun merasa nyaman-nyaman saja dengan kondisi ini, toh hitung-hitung mandi berendam. Si ilmuwan pun menyalakan tungkunya, namun kali ini apinya kecil saja agar air tak cepat mendidih.
Perlahan namun pasti air dalam panci pun menjadi kian hangat. Namun si Katak masih nyaman-nyaman saja, “sekalian mandi air hangat” begitu pikirnya. Namun air pun kian menghangat, dan menghangat, si katak masih merasa nyaman dan aman. Hingga satu titik, ketika air sudah mulai sangat panas, kali ini si katak sudah tak tahan, ia mencoba melompat. Namun sayang, kali ini ia tak bisa. Air sudah terlalu panas dan si katak sudah terlalu lemah. Akhirnya si Katak pun mati, terebus bersama air panas tersebut.
Sadar atau tidak, adakalanya kita menemukan orang-orang yang menjadi katak ini. Atau jika mau jujur bercermin, boleh jadi kita-lah katak tersebut. Ketika seorang shalih diajak untuk bermaksiat terang-terangan sudah pasti ia akan menolak. Namun syaithan sungguh cerdas, alih-alih langsung terang-terangan, setan akan mendekatinya dengan perlahan-lahan, membuainya hingga terasa aman, nyaman, menjadi kebiasaan, hingga akhirnya yang ada hanyalah penyesalan. Sadar atau tidak, si shalih terlah beradaptasi terhadap kemaksiatan.
Jika api besar dan air mendidih adalah dosa besar, maka api kecil adalah dosa-dosa kecil yang kita biarkan, yang kita anggap biasa, lumrah, wajar, atau bahkan kita merasa nyaman-nyaman saja dengannya. Sebagaimana air hangat yang melenakan, pelan namun pasti dosa kecil kian memanaskan kita hingga suhu yang membinasakan.
Terlebih manusia sering meremehkan ha-hal yang ada embel-embelnya “kecil”, batu kecil, uang kecil, anak kecil, dan termasuk pula dosa kecil. Sehingga tak jarang kita pun tak ambil pusing dengan dosa-dosa kecil yang kita perbuat. Jangankan taubat, istighfar pun seolah tak sempat. Kita merasa aman, kita nyaman, padahal ini strategi jitu syaithan yang menyesatkan,
Maka benarlah Rasulullah yang mengajak kita untuk mewaspadai dosa-dosa kecil. Dalam sebuah hadits riwayat Ahmad Rasulullah bersabda, “Hati-hatilah terhadap dosa-dosa kecil. Hal itu tidak ubahnya seperti sekelompok orang yang turun ke sebuah lereng gunung. Mereka masing-masing membawa sebatang ranting kayu sehingga dengan ranting-ranting kayu itu bisa mereka masak roti. Dosa-dosa kecil kapan saja di lakukan oleh seseorang ia akan menjadi celaka”.
Karena memang dosa kecil yang dibirkan ibarat titik kecil yang ditoreh dia atas kertas. Satu titik memang tak ada apa-apanya dibandingkan luasnya putih kertas. Namun jika ditorehkan berkali-kali , dan berkali-kali, tanpa henti, tanpa pernah kita menghapusnya, pada akhirnya kita pun merasa asing dengan warna putih kertas semula. Maka lihat, apa yang kita anggap sepele, satu titik hitam di kertas putih, namun jika diteruskan maka putihnya kertas kan berubah menjadi hitam.
Inilah cerdasnya syaithan, tak diajaknya seorang ustadz untuk langsung berzina, diajaknya ia untuk sekedar memandang sambil berkata “toh ini cuman memandang”, berlanjut saling SMS-an dengan perkataan yang sama “toh cuma SMS”, berlanjut memberi perhatian, pertemuan, pegang tangan, pacaran dan seterusnya sampai terjadilah zina. Sampai disinipun adakalanya timbul kerasnya hati, “toh nanti bisa bertaubat”. Bahkan ampunanNya pun kini dianggapnya remeh.
Tak diajaknya seorang muslim untuk langsung murtad. Dihembuskannya sedikit demi sedikit apa yang menarik hatinya, bisa lawan jenis, jabatan, kedudukan, harta, atau hal-hal non materi seperti jaminan, kebebasan ataupun kemenangan. Dibuatlah sedikit demi sedikit apa yang bertentangan dengan agama menjadi indah, dan kita pun terpesona dengannya. Disisi lain ditampakkanlah agamanya dengan sesuatu yang buruk-buruk, dianggap kuno, nggak gaul, radikal, teroris. Dibuatlah kita membenci apa yang selama ni kita yakini, di awal kita mendiamkan teman yang menjelek-jelekkan agama, esoknya kita lah yang membelanya, bahkan menggantikannya berbicara hal sama. Dibuatlah ucapan soal Tuhan, Surga dan Neraka adalah dongeng khayalan orang terdahulu, tanpa sadar kita pun mengangguk-angguk. Pelan tanpa pasti, sadar atau tidak, akidah itu pun lepas begitu saja.
Sebagaimana saya, boleh jadi Anda pun menemuinya di sekitar kita. Ada teman yang dahulunya ketua rohis, kini berubah layaknya preman. Ada yang dahulunya begitu aktif ikut pengajian, kini alergi dengan hal-hal keislaman. Ada yang dahulu begitu rapat ia menutup aurat, kini begitu nyaman ia buka-bukaan. Bahkan ada pula yang dahulu ikut sholat dengan khusyuknya, namun kini berpindah agama, menyembah selain Allah yang Esa.
Dan begitulah cara syaithan menyesatkan anak adam. Sebagaimana kisah katak yang direbus, begitulah manusia dijerumuskan perlahan-lahan, begitu sadar semuanya sudah terlambat. Luka fisik, rasa, isak tangis, penjara, hamil luar nikah, ataupun cacat seumur hidup sungguh masih tak ada apa-apanya dibanding panasnya nyala neraka akibat tiadanya taubat.
Sesal di dunia masih ada obatnya, sesal di akhirat hendak kemana kita lari dari siksaNya?
Maka sebelum terlambat, sudah saatnya kita bangun, tanggap, sadar, dan segera melompat dari panci dosa-dosa kecil, sebelum panasnya membuat kita kian terlena, lalu binasa. Mengutip nasehat sahabat saya, pada akhirnya kita harus sadar bahwa ini bukan soal besar kecilnya sebuah maksiat, namun yang terpenting ialah, kepada siapa kita bermaksiat?
via: eramuslim.com
No comments:
Post a Comment
ความเห็นของคุณ
Pendapat Anda